Selasa, 22 Oktober 2013
Browse »
home»
berdo’a
»
di
»
hari
»
jum’at
»
mustajab
»
waktu
»
Waktu Mustajab berdo’a di Hari Jum’at
Waktu Mustajab berdo’a di Hari Jum’at
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Sebaik-baik hari bagi umat Islam adalah hari Jumat. Sayyidul ayyaam (pemimpin hari) yang paling agung dan paling utama di sisi Allah Taala. Banyak ibadah yang dikhususkan pada hari itu, misalnya membaca surat al-Sajdah dan al-Insan pada shalat Subuh, membaca surat al-Kahfi, shalat Jumat berikut amalan-amalan yang mengirinya, dan beberapa amal ibadah lainnya. Di dalamnya juga terdapat satu waktu mustajab untuk berdoa. Tidaklah seorang hamba yang beriman memunajatkan doa kepada Rabbnya pada waktu itu, kecuali Allah akan mengabulkannya selama tidak meminta yang haram. Karenanya seorang muslim selayaknya memperhatikan hari Jumat.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallah anhu, dia bercerita: "Abu Qasim (Rasululah) shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ
"Sesungguhnya pada hari Jumat itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim berdiri berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya." Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, yang kami pahami, untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat)." (Muttafaq Alaih)
Dalam memahami satu waktu yang mustajab (dikabulkannya doa) tersebut, para ulama berbeda pendapat, kapan waktu itu berlangsung? Karena ilmu tentangnya telah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Taala, sebagaimana ilmu tentang kepastian waktu Lailatul Qadar.
Diriwayatkan, dari Said bin Al Harits, dari Abu Salamah berkata, "Aku menyampaikan kepada Abu Said, sesungguhnya Abu Hurairah menyampaikan kepada kami perilah satu waktu yang ada di hari Jumat. Beliau berkata, Aku pernah menanyakannya kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, lalu beliau menjawab, "Sungguh aku dulu diberitahu tentangnya kemudian aku dijadikan lupa sebagaimana dijadikan lupa terhadap Lailatul Qadar." ( HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Ibnul Hajar dalam Fath al-Baari (II/416-421) menyebutkan ada 43 pendapat di antara para ulama mengenai suatu waktu yang terdapat pada hari Jumat itu. Lalu beliau berkata, "tidak diragukan lagi bahwa pendapat yang paling rajih (kuat) adalah hadits Abu Musa dan hadits Abdullah bin Salam . . . , namun para ulama salaf masih berbeda pendapat manakah dari keduanya yang lebih rajih." Selanjutnya Ibnul Hajar menjelaskan, mayoritas ulama, seperti Imam Ahmad dan lainnya, mentarjih bahwa waktu tersebut terdapat pada akhir waktu dari hari Jumat. Di akhir ucapannya, Ibnul Hajar cenderung kepada pendapat Ibnul Qayim, yaitu pengabulan doa itu diharapkan juga pada saat shalat. Sehingga kedua waktu tersebut merupakan waktu ijabah (pengabulan) doa, meskipun saat yang khusus itu ada di ujung hari setelah shalat shalat Ashar.
Imam al Khaththabi rahimahullah, yang disebutkan dalam Fath al-Baari, juga menyimpulkan waktu istijabah tersebut ada dua: Pertama, pada waktu shalat. Kedua, satu waktu di sore hari ketika matahari mulai merendah untuk tenggelam. Berikut ini uraian lebih rinci terhadap kedua pendapat tersebut:
Pendapat Pertama: waktu istijabah itu sejak duduknya imam di atas mimbar sampai dengan berakhirnya shalat. Hujjah dari pendapat ini adalah hadits Abu Burdah bin Abi Musa al-Asyari, dia bercerita: "Abdullah bin Umar pernah berkata kepadaku: apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengenai satu waktu yang terdapat pada hari Jumat? Aku (Abu Burdah) menjawab, "Ya, aku pernah mendengarnya berkata, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلَاةُ
"Saat itu berlangsung antara duduknya imam sampai selesainya shalat." (HR. Muslim)
Namun, waktu istijabah ini tidak penuh sejak duduknya imam di mimbar sampai selesainya shalat. Dia datangnya kadang-kadang berdasarkan lafadz hadits, "yuqalliluhaa" (sangat sebentar).
Imam al-Shanani rahimahullah dalam Subul al-Salam, menyebutkan keberadaannya terkadang di awal, tengah, atau di akhir. Misalnya diawali sejak dimulainya khutbah dan habis ketika selesainya shalat. (Subul al-Salam: II/101)
Pendapat kedua : waktu ijabah berada di akhir waktu setelah Ashar. Ibnu Qayyim al-Jauziyah merajihkan pendapat ini. Beliau berkata, "yang ini merupakan pendapat yang paling rajih dari dua pendapat yang ada. Ia adalah pendapat Abdullah bin Salam, Abu Hurairah, Imam Ahmad, dan beberapa ulama selain mereka." (Zaad al Maad: I/390)
Hadits yang menunjukkan kesimpulan ini cukup banyak. Di antaranya hadits Jabir bin Abdillah Radliyallah Anhu, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau bersabda:
يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لَا يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ
"Hari Jumat terdiri dari 12 waktu, di dalamnya terdapat satu waktu yang tidaklah seorang muslim pada saat itu memohon sesuatu kepada Allah, melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Oleh karena itu, carilah saat tersebut pada akhir waktu setelah Ashar." (HR. an Nasai dan Abu Dawud. Disahihkan oleh Ibnul Hajar dalam al Fath dan dishahihkan juga oleh al Albani dalam Shahih an Nasai dan Shahih Abu Dawud)
Hadits Abdullah bin Salam, dia bercerita: "Aku berkata, sesungguhnya kami mendapatkan di dalam Kitabullah bahwa pada hari Jumat terdapat satu saat yang tidaklah seorang hamba mukmin bertepatan dengannya lalu berdoa memohon sesuatu kepada Allah, melainkan akan dipenuhi permintaannya. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengisyaratkan dengan tangannya bahwa itu hanya sebagian saat. Kemudian Abdullah bin Salam bertanya; kapan saat itu berlangsung? beliau Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab, "saat itu berlangsung pada akhir waktu siang." Setelah itu Abdullah bertanya lagi, bukankah saat itu bukan waktu shalat? beliau menjawab,
بَلَى إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ
"Benar, sesungguhnya seorang hamba mukmin jika mengerjakan shalat kemudian duduk, tidak menahannya kecuali shalat, melainkan dia berada di dalam shalat." (HR. Ibnu Majah. Syaikh al Albani menilainya hasan shahih).
Juga berdasarkan hadits Anas bin Malik, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
الْتَمِسُوا السَّاعَةَ الَّتِي تُرْجَى فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَى غَيْبُوبَةِ الشَّمْسِ
"Carilah saat yang sangat diharapkan pada hari Jumat, yaitu setelah Ashar sampai tenggelamnya matahari." (HR. at Tirmidzi; dinilai Hasan oleh al Albani di dalam Shahih at Tirmidzi dan Shahihh at Targhib).
Al-Hafidz Ibnul Hajar rahimahullah berkata: "diriwayatkan Said bin Mansur dengan sanad shahih kepada Abu Salamah bin Abdirrahman, ada beberapa orang dari sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berkumpul lalu saling menyebut satu saat yang terdapat pada hari Jumat. Kemudian mereka berpisah tanpa berbeda pendapat bahwa saat tersebut berlangsung pada akhir waktu dari hari Jumat." (Fath al-Baari :II/421 dan Zaad al-Maad oleh Ibnul Qayim I:391)
. . . Kemudian mereka berpisah tanpa berbeda pendapat bahwa saat tersebut berlangsung pada akhir waktu dari hari Jumat. . .
Ibnul Qayyim berkata, "diriwayatkan Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, dia berkata: saat (mustajab) yang disebutkan ada pada hari Jumat itu terletak di antara shalat Ashar dan tenggelamnya matahari. Said bin Jubair jika sudah melaksanakan shalat Ashar dia tidak mengajak bicara seseorang pun hingga matahari terbenam. Demikian ini pendapat mayoritas ulama salaf, dan mayoritas hadits mengarah pada pendapat itu. Selanjutnya, pendapat lain menyatakan bahwa saat tersebut terdapat pada waktu shalat Jumat. Adapun pendapat-pendapat lainnya tidak memiliki dalil." (Zaad al-Maad: I/394)
Ibnul Qayyim juga mengatakan, "menurut saya, saat shalat merupakan waktu yang diharapkan pengabulan doa. Keduanya merupakan waktu pengabulan meskipun satu saat yang khusus itu di akhir waktu setelah shalat Ashar. Itu merupakan saat tertentu dari hari Jumat yang tidak akan mundur atau maju. Adapun saat ijabah pada waktu shalat, ia mengikuti waktu shalat itu sendiri sehingga bisa maju atau mundur. Karena ketika berkumpulnya kaum muslimin, shalat, ketundukan, dan munajat mereka kepada Allah memiliki pengaruh terhadap pengabulan (doa). Dengan demikian, saat pertemuan mereka merupakan saat yang diharap dikabulkannya doa. Dengan demikian itu, seluruh hadits berpadu antara yang satu dengan lainnya. . ." (Zaad al Maad: I/394)
Lebih lanjut, Ibnul Qayyim berkata, "saat mustajab berlangsung pada akhir waktu setelah Ashar yang diagungkan oleh seluruh pemeluk agama. Menurut Ahl Kitab, ia merupakan saat pengabulan. Inilah salah satu yang ingin mereka ganti dan merubahnya. Sebagian orang dari mereka yang telah beriman mengakui hal tersebut." (Zaad al-Maad: I/396)
(Di dalamnya terdapat satu saat yang tidaklah seorang muslim berdoa memohon sesuatu bertepatan dengan saat tersebut melainkan Allah akan mengabulkannya, yaitu setelah shalat Ashar)
Pendapat ini juga yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh DR. Said bin Ali al Qahthan dalam Shalatul Mukmin. Syaikh Ibnu Bazz berkata, "hal itu menunjukkan bahwa sudah sepantasnya bagi orang muslim untuk memberikan perhatian terhadap hari Jumat. Sebab, di dalamnya terdapat satu saat yang tidaklah seorang muslim berdoa memohon sesuatu bertepatan dengan saat tersebut melainkan Allah akan mengabulkannya, yaitu setelah shalat Ashar. Mungkin saat ini berlangsung setelah duduknya imam di atas mimbar. Oleh karena itu, jika seseorang datang dan duduk setelah Ashar menunggu shalat Maghrib seraya berdoa, doanya akan dikabulkan. Demikian halnya jika setelah naiknya imam ke atas mimbar, seseorang berdoa dalam sujud dan duduknya maka sudah pasti doanya akan dikabulkan." (DR. Said bin Ali bin Wahf al Qahthani, Ensiklopedi Shalat menurut al Quran dan as Sunnah : II/349) Wallahu Taala Alam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar